Oleh : Mohammad Effendy – Forum Ambin Demokrasi
LANGKAR.ID,BANJARMASIN – Diantara kritikan terhadap konsep demokrasi adalah terlalu mengutamakan pendapat mayoritas sebagai dasar pengambilan keputusan. Pengutamaan tersebut karena adanya pemikiran bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama dan setara. Sementara konsep kesetaraan kurang mempertimbangkan realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Secara alami strata sosial yang ada dalam masyarakat terdapat perbedaan baik dalam perspektif ekonomi, sosial, tingkat pendidikan dan lain-lain, sehingga konsep kesetaraan akan mengalami “distorsi” jika tidak diikuti dengan penerapan konsep keadilan dan kejujuran.
Salah satu instrument demokrasi yang sangat esensial adalah penyeleggaraan pemilu/Pilkada untuk menyeleksi calon pemimpin yang akan menduduki dan mengisi jabatan-jabatan publik. Oleh karena itulah dalam penyeleggaraan pemilu/pilkada diberlakukan asas yang bersifat universal, yakni LUBER dan JURDIL. Pelanggaran terhadap asas universal dimaksud akan mengakibatkan pemilu/pilkada kehilangan maknanya yang substansial.
Reformasi telah berhasil menyusun agenda ketetanegaraan berupa pelaksanaan pemilu/pilkada dalam rentang waktu 5 tahunan dan sekaligus membatasi periodesasi Presiden/Wakil Presiden serta Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah hanya boleh dua kali masa jabatan secara berturut-turut. Akan tetapi reformasi hanya mampu membangun demokrasi pada tataran prosedural dan kurang berhasil dan/atau bahkan mungkin telah gagal membangun demokrasi yang substansial.
Pelanggaran dan/atau penyimpangan terhadap asas Luber dan Jurdil begitu kasat mata terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilu/pilkada. Penerapan asas Luber tidak semata-mata hanya berupa pemberian serta perlindungan terhadap hak memilih warga. Akan tetapi asas Luber mengandung aspek filosofis bahwa setiap pemilih mendapat jaminan penuh untuk menggunakan hak pilihnya secara bebas dan rahasia dalam upaya menerapkan “kesetaraan”.
Di lapangan yang terjadi adalah pengebirian terhadap asas kebebasan dan kerahasiaan dalam bentuk penggiringan hak memilih warga melalui cara “transaksional”. Praktek transaksional hak suara warga secara jelas dan terang benderang melanggar asas kebebasan dan kerahasiaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap penyelenggaraan pemilu/pilkada.
Dampak terhadap praktek transaksional suara adalah hilangnya asas “kejujuran dan keadilan” yang menjadi inti dari konsep demokrasi. Kesetaraan yang ingin dibangun dalam konsep demokrasi akan kehilangan rohnya jika di dalamnya tidak ada kejujuran dan keadilan. Penghormatan terhadap suara mayoritas sebagai bagian dari konsep keseteraan seperti terlihat pada rekapitulasi suara pada penyelenggaraan pemilu/pilkada akan menjadi simbol demokrasi yang buram jika ia didapatkan dengan cara-cara yang curang.
Keprihatinan kita kian memuncak ketika ketidak jujuran dan ketidakadilan dimaksud justeru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjaganya dengan sepenuh hati. Keberpihakan institusi negara, ketidaknetralan penyelenggara pemilu/pilkada, serta keterlibatan kelompok yang memiliki akses ekonomi yang begitu kuat adalah sebuah konspirasi yang merusak sendi-sendi demokrasi yang ingin kita rawat dan kita bangun bersama.
Secara historis, gagasan melontarkan konsep demokrasi adalah ingin mengembalikan hak kedaulatan negara kepada rakyat sebagai pemiliknya. Di awali dengan pemberian hak suara kepada rakyat secara langsung dalam kegiatan yang dinamakan pemilu atau referendum. Kemudian muncul konsep perwakilan karena pelibatan suara rakyat secara langsung mengandung beberapa kelemahan, sehingga perlu dilakukan secara berjenjang melalui lembaga perwakilan.
Bangsa kita mencoba mengadopsi ide demokrasi tersebut dengan beberapa modifikasi yang diawali dengan sistem perwakilan. Terbentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang berwenang memilih Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD untuk tingkat daerah untuk mencalonkan dan kemudian memilih Kepala Daerah/Wakil Kepada Daerah.
Pasca reformasi, model pemilihan melalui perwakilan kita ubah dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat terutama untuk jabatan Presiden/Wakil Presiden serta Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Akan tetapi yang membuat kita bingung adalah mengapa kedua model konsep demokrasi (pemilihan lewat perwakilan dan pemilihan langsung) tetap menimbulkan masalah ketika kita terapkan di negeri tercinta ini.
Jawaban terhadap kebingungan tersebut sangat sederhana, yaitu; bangsa kita mungkin telah kehilangan jatidirinya yang secara susah payah telah dibangun dan dirawat oleh nenek moyang dan para pendiri bangsa ini. Kejujuran dan keadilan hanya tersisa pada retorika, akan tetapi ia tidak terekspresikan dalam perilaku keseharian. Masyarakat kita adalah bangsa yang munafik ujar Mochtar Lubis yang menulis tentang ciri-ciri manusia Indonesia – silahkan marah.(007)