BerandaBANUABanjarbaruNegara Hukum Yang Kehilangan Cahaya Keadilan

Negara Hukum Yang Kehilangan Cahaya Keadilan

(Renungan Bulan Kemerdekaan)

Oleh : Mohammad Effendy – Forum Ambin Demokrasi

LANGKAR.ID,BANJARMASIN – UUD 1945 (asli) mencantumkan pernyataan sebagai “negara hukum” secara eksplisit termuat dalam Penjelasan UUD yang menyebutkan “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat)”. Di era reformasi ketika dilakukan perubahan UUD (amandemen), Penjelasan UUD 1945 dihilangkan. Pernyataan sebagai negara hukum dipindahkan ke dalam batang tubuh dan dimuat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Pernyataan tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum memiliki nilai filosofis yang sarat makna karena menunjukkan cita-cita suci para Pendiri Bangsa yang menginginkan agar negara yang akan dibangun itu nantinya dikelola berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berisikan konsep kesetaraan dan keadilan. Rakyat Indonesia sudah terlalu lama berada di bawah rezim penjajah yang sangat diskriminatif dan memperlakukan rakyat kita sebagai warga kelas tiga yang mereka sebut golongan bumi putera – warga yang kehilangan harkat dan martabat kemanusiaan.

Dalam perjalanan panjang penyelenggaraan pemerintahan sebagai negara merdeka dan berdaulat, pengelola negara yang disebut Pemerintah pada awalnya begitu bersemangat ingin membangun negeri agar dapat bersaing dengan negara lain yang juga baru bangkit dari keterpurukan akibat penjajahan. Upaya untuk memajukan negeri memang dapat dirasakan oleh kita semua dan secara faktual telah terjadi perubahan yang cukup berarti.

Akan tetapi sebagai negara yang dianugerahi Tuhan dengan kekayaan alam yang melimpah, maka kemajuan dan perubahan tersebut tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang didasari oleh keserakahan dan manipulasi. Cita-cita mulia para pendiri bangsa ternyata tidak mengalami kemajuan yang signifikan karena mayoritas kehidupan rakyat yang masih jauh dari sejahtera dan sebagianya masih berada di bawah garis kemiskinan absolut jika menggunakan standar internasional.

Bahkan, pada dekade terakhir ini keprihatinan kita makin meningkat karena konsep sebagai negara hukum yang sudah dideklarasikan dengan penuh gelora bukan saja makin menjauh tetapi justeru telah dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat manipulatif. Pilar hukum yang seharusnya dijadikan penyangga untuk menegakkan keadilan, ternyata digunakan untuk membelenggu rakyatnya sendiri dan merampas hak-hak mereka.

Tanah rakyat yang dilindungi oleh hukum adat diambil secara paksa dengan dalih untuk kepentingan umum dan kelancaran investasi sebagaimana terjadi di berbagai tempat dan yang sangat viral adalah kasus Rempang. Tanah dan wilayah yang berada di bawah kuasa negara dan secara konstitusional seharusnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ternyata dimanfaatkan oleh jaringan pengusaha yang mendapat perlindungan penguasa.

Tindakan kriminalisasi terhadap mereka yang berbeda pandangan politik, pemerasan terhadap warga yang tidak berdaya, pembebanan pajak yang kian tinggi di tengah rakyat yang miskin dan kelaparan, serta ruang pengadilan yang menjadi tempat transaksi jual-beli perkara menjadi berita dan pemandangan sehari-hari serta sangat menggores luka dan rasa keadilan masyarakat.

Kritik tajam dari pengamat hukum dan pejuang demokrasi seolah hanya angin yang mengelus lembut bukan dianggap badai atau bencana yang menakutkan meski tindakan dan kebijakan yang dikritisi tersebut secara jelas bertentangan dengan hukum, melanggar etika selaku penyelenggara negara, serta tidak sesuai dengan moralitas sebagai pejabat publik. Mungkin hati mereka sudah tidak lagi menyisakan semangat dan soliditas kebangsaan atau bahkan telah kehilangan sesuatu yang sangat penting dan berharga yakni nurani kemanusian.

Bangsa kita benar-benar sedang dilanda oleh kemunafikan dan anomali yang menyakitkan; saat kecurangan dibalut dengan jubah kejujuran, ketika kebohongan disuarakan di atas podium demokrasi, sementara akal sehat ditaruh di bawah mimbar akademik, dan tanpa rasa malu kita memajang keadilan di etalase toko sekalian dengan bandrol harganya. Padahal kita semua tahu dan menyadari bersama bahwa ketika hukum telah kehilangan cahaya keadilan, maka hukum hanyalah deretan kata yang tidak lagi memiliki maknanya yang sakral. Saat itulah Sang Dewi Keadilan membuka tutup matanya untuk melihat nominal yang tertera pada rekeningnya.(007)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

BACA JUGA