(Renungan Bulan Kemerdekaan)
Oleh : Mohammad Effendy – Forum Ambin Demokrasi
Kita baru saja mengikuti dan/atau menyaksikan perayaan HUT Kemerdekaan RI yang ke 80 dalam upacara formal kenegaraan yang penuh khidmat, meriah, dan juga megah, maski di tengah kondisi rakyat yang masih diliputi kemiskinan serta kelaparan. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan tersebut di samping sebagai tanda syukur kepada Tuhan yang memberi anugerah lahirnya kebebasan sebuah bangsa, sekaligus juga untuk mengenang para pejuang yang merelakan jiwa dan raganya untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan yang kita peroleh bukan dalam bentuk hadiah dan kebaikan hati bangsa penjajah, tetapi ia diraih dengan tetesan darah para pejuang, gema takbir dari para syuhada serta teriakan penuh semangat segenap rakyat yang mencintai tanah airnya. Sebagian dari para pejuang itu beristirahat dengan tenang di makam pahlawan, namun sebagian besar lagi menutup mata dengan damai dan berada di bawah tanah atau hanyut terbawa aliran sungai serta gelombang laut yang tidak diketahui tempatnya.
Selain itu para pendiri bangsa juga sangat menyadari bahwa keberhasilan mencapai kemerdekaan tidak semata-mata karena gelora semangat juang secara fisik, tetapi di balik itu ada desahan doa yang penuh khusu di ruang-ruang sunyi tempat ibadah yang suaranya memiliki resonansi kuat sehingga menggetarkan langit. Oleh karena itu dalam deklarasi kemerdekaan termuat kalimat yang penuh dengan kekuatan spiritual “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, …….. “.
Kesadaran spiritual para Pendiri Bangsa tersebut harus terus kita wariskan agar ia menjadi kompas pemandu dalam kehidupan berbanga dan bernegara serta bermasyarakat. Mereka yang diberi amanah dan mandat jabatan untuk mengelola negeri ini harus menyadari bahwa kewenangan yang berada di tangannya bukan digunakan untuk menyakiti rakyat, tetapi justeru untuk melindunginya. Orang-orang yang dengan arogan mempertontonkan kekuasaannya adalah mereka yang mengkhianati nilai-nilai kemerdekaan yang diperjuangkan bersama.
Pekik merdeka adalah simbol perlawanan terhadap penjajah, ekspresi semangat juang untuk terus mempertahankan dan menjaga negeri ini, suara hati dari rakyat yang telah lama dibelenggu kebebasannya. Akan tetapi mengapa pekik merdeka tersebut kian lama makin sumbang, makin terdengar nelangsa menyayat hati, atau bahkan makin redup dan sunyi. Kesunyian tersebut tentu bukan berarti pekik merdeka tidak lagi terdengar, tetapi pekik itu seperti kehilangan “rohnya” karena dibalut oleh kehampaan makna hakikinya.
Ucapan Proklamator sekaligus Presiden pertama kita Soekarno yang selalu kita ingat dan kita kenang terbukti benar terjadi. Beliau mengatakan bahwa perjuangan melawan penjajah jauh lebih mudah karena musuh itu nyata terlihat di hadapan kita. Akan tetapi perjuangan menjadi lebih sulit jika musuh yang akan kita hadapi itu justeru bangsa sendiri. Terlebih lagi hal yang sangat memprihatinkan dan sekaligus menyakitkan adalah karena perilaku bangsa kita sendiri itu ternyata jauh lebih kejam dan lebih semena-mena dibandingkan dengan perilaku penjajah yang kita usir bersama.
Tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan bangkit melawan penjajah karena rakyat terus diperlakukan tidak adil dan dianggap sebagai warga kelas tiga (bumi putera), hak-hak mereka dirampas, masyarakat miskin tetap dikenakan pajak tinggi, sementara hasil bumi terus dikeruk untuk menghidupi negerinya Sri Ratu, rakyat dibiarkan berada dalam kebodohan karena kurangnya fasilitas pendidikan, hukum hanya melindungi warga kelas satu (golongan Eropa), sementara orang-orang yang bersuara lantang dipenjarakan dan seterusnya.
Perjuangan tanpa henti pada akhirnya membuahkan hasil yaitu lahirnya sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Tokoh pendiri bangsa menyusun deklarasi yang di dalamnya berisikan semangat untuk melindungi rakyat dan wilayah negara, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi generasi yang lahir tanpa keringat perjuangan dan kemudian diberi amanah untuk memimpin negeri ini tanpa rasa malu mengulang perilaku penjajah dan melupakan tujuan suci bernegara.(007)