Kesenian teater tradisional Kalimantan Selatan, Mamanda mungkin mulai terdengar asing bagi masyarakat perkotaan. Padahal di era awal kemerdekaan RI, dan belum banyak masyarakat memiliki televisi, pementasan Mamanda selalu ramai dipenuhi oleh penonton.
LANGKAR.ID, – Dikutip dari buku Ampunlah Tuanku karangan Burhanuddin Soebely (2002), Mamanda atau Bamanda adalah sebuah kesenian tradisional masyarakat Kalimantan Selatan yang tumbuh berkembang di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sebelum tahun 1930.
Kesenian Mamanda ini dulunya adalah sebuah Karasmin (pertunjukan hiburan) yang sering ditampilkan setiap acara hajatan maupun acara pemerintahan.
Menariknya dalam kesenian Mamanda terangkum beberapa unsur seni lainnya seperti; tari, nyanyi nyanyian, adegan pertarungan, lawakan, bahkan kisah dramatis tentang percintaan, hingga prahara yang terjadi di sebuah kerajaan.
Menggunakan satu media meja, pementasan mamanda dapat menggambarkan kisah di sebuah kerajaan, hutan belantara, taman, bahkan sebuah perkampungan.
Sebelum mamasuki tahun 90-an, kesenian Mamanda yang populer di tengah masyarakat ini dipentaskan malam hari selepas isya hingga menjelang subuh. Begitu menariknya cerita yang dibawakan pada pementasan mamanda, semakin larut penonton yang menyaksikan semakin asik mengikuti jalan cerita sampai selesai.
Seiring berkembangan zaman, dan bermunculannya berbagai hiburan baru di masa modern, perlahan kesenian Mamanda ini mulai hilang dari peredaran. Pementasannya hilang karena peminatnya sangat berkurang.
Dalam buku karangan Burhanuddin Soebly itu diterangkan bahwa kesenian Mamanda dibawa dari dua warga desa Karang Jawa Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) yang bernama Suhabu dan Haji Madar. Kedua sekawan ini sebelumnya merantau ke Sumatera dan mengenal berbagai kesenian yang berkembang disana, seperti Makyong, Dulmuluk, Mendu. Berbagai macam kesenian tersebut berbeda jenis. Ada yang menampilkan cerita, tarian, nyanyian dan lawakan.